Masihkah kau ingat hujan yang jatuh di bulan maret? derainya terdengar lebih gelisah bukan?
Saat itu aku mengetuk pintu rumahmu berulang-ulang, dulu kupikir hujan menelan segala suara hingga tak kau dengar gigilku yang beku. Tapi di pertengah maret akhirnya kau buka pintu hatimu, aku tak percaya tapi kulihat langit saat itu menjadi cerah, bahkan sudut mataku menangkap pelangi yang seolah tersenyum padaku. Aku bahagia.
Masihkah kau ingat hujan yang jatuh di bulan maret? derainya terdengar lebih gelisah bukan?
Ini telah kali ke enam maret waktu ku semai cinta yang terus tumbuh di hatiku, meskipun hanya kau izinkan duduk di beranda hidupmu. Dengan hujan yang jatuh di taman rumahmu, aku masih saja menulis doa yang sama.
Masihkah kau ingat hujan yang jatuh di bulan maret? derainya terdengar lebih gelisah bukan?
Sebagaimana kata Sapardi; “waktulah yang fana sedang kita abadi”. Benar bukan, waktu boleh berlalu pun berhenti, tetapi kita mestilah tetap ada? Maret kembali memutar kenang perjalanan kita, meninggalkan nama waktu yang sama, tetapi meski kemarin bukanlah lagi hari ini. Lagi, akan tetap ku ketuk pintumu.
Masihkah kau ingat hujan yang jatuh di bulan maret? derainya terdengar lebih gelisah bukan?
Tahukah? Karena hujannya jatuh bersama air mataku.
No comments:
Post a Comment