Permasalahan Arsitektur
Perkotaan dan Pedesaan
Bersandar pada dua pertanyaan berikut:
1. “Bagaimana menanggapi dan merespon
budaya lokal dalam meningkatkan kualitas sebuah kampung?” dan
2. “Bagaimana mengikutsertakan
masyarakat (sekitar) untuk meningkatkan kampung mereka?”
Jawaban untuk pertanyaan pertama ada pada
anggapan yang melatar-belakangi pertanyaan kedua: Proses melibatkan masyarakat
itu sendiri adalah cara terbaik dalam mempelajari (kembali) budaya lokal,
memenuhi kebutuhannya, mengalih-bentukkannya (transformasi) ke keadaan kiwari
(kontemporer), dan meningkatkan kualitas kampung masyarakat kita.
Proses modernisasi yang tiba-tiba (“tiba-tiba
modern”) dan dari-atas telah menyebabkan semacam gangguan pada aliran
kebudayaan setempat. Hal ini misalnya sangat jelas dalam pendidikan arsitektur
sendiri, yang sangat “modern” dan menerjemahkan pengetahuan dari budaya lain ke
dalam keadaan setempat secara terbata-bata. Proses itu masih berlangsung.
Lihatlah buku-buku yang kita baca. Lihatlah buku-buku yang dianjurkan untuk
dibaca pada tiap-tiap mata-kuliah di sembarang Jurusan Arsitektur.
Tetapi gejala ini bukanlah khas negeri kita.
Tidak-simetri dalam proses produksi dan konsumsi ilmu pengetahuan adalah hal
yang umum terjadi, sama seperti hal-hal lainnya, karena tergantung pada
faktor-faktor kekuasaan yang tidak simeteris. Selain itu, hal itu tidak
sepenuhnya “salah keadaan atau orang lain” atau tidak dapat diubah sama sekali.
Sehubungan dengan keadaan Indonesia, kesalahan antara lain terletak pada diri
kita sendiri, bangsa Indonesia, yang kurang banyak menulis atau merekam
pengetahuannya dalam bentuk-bentuk lain yang dapat disebarkan dengan cara
mudah. Namun, harus pula kita akui dengan senang hati dan bangga, bahwa
belakangan ini makin banya buku (pengetahuan!) yang diproduksi oleh bangsa
Indonesia sendiri. Dulu kita hanya mengenal bukunya Mangunwijaya (Wastuwidya
dan Fisika Bangunan).
Tetapi masih banyak pengetahuan tersimpan di
dalam kehidupan sehari-hari rakyat kita.
Pengetahuan ini makin penting sekarang, karena
seringkali juga mengandung solusi-solusi realistis untuk transisi menuju
kehidupan yang lestari.
Kendala kita terletak pada jumlah keberagaman
kita sendiri. Kita harus rela menyediakan waktu, dana, sumber daya
manusia, dan dedikasi untuk belajar ulang tentang diri kita sendiri, sebelum
dibatasi (didefinisikan) oleh siapa-siapa pun tanpa berdasarkan pengetahuan
yang luas. Pengetahuan tentang diri kita lebih penting daripada definisi
tentang diri kita. Sebab, eksistensi keberagaman Indonesia mendahului definisi
tentang Indonesia.
Pengetahuan tentang tiap-tiap budaya rakyat
kita harusnya juga dipahami bukan secara statis dan teoritis, tetapi selalu
dalam pergaulan satu sama lain, dari waktu ke waktu, dan karena itu juga selalu
berubah dinamis memasuki masa kini dan masa depan dalam praktik sehari-hari.
Manfaatnya jelas: memperkokoh persatuan yang
sejati, memahami kebutuhan rakyat yang sesungguhnya, memberikan solusi-solusi
atas kebutuhan dan masalah rakyat dengan cara-cara yang sesuai keadaan dan
kemampuan setempat, sehingga dapat lestari pemakaian dan pemeliharaannya,
karena melibatkan mereka, karena membangkitkan rasa memiliki. Tetapi
mempelajari (dan menghayati!) keadaan dan kebudayaan setempat pertama-tama
penting untuk membongkar perangkap dari apa yang telah dipelajari sebelumnya,
yang seringkali telah mengandung template yang
membatasi kreativitas dan tidak tepat-guna.
Untuk membangun pengetahuan keberagaman
masyarkat dan mempraktikkannya tentu diperlukan strategi pada berbagai tingkatan.
Saya hanya akan bicara pada dua tingkat yang mungkin paling relevan untuk
diskusi kita ini: pada tingkat praktik berarsitektur dan berkota.
Pada dasarnya kita perlu berubah, berangkat
dari menyadari kekurangan pada pendidikan yang telah kita alami, hingga
mengubah cara-cara kita berpraktik membangun dan mendiami arsitektur serta
kota.
Strategi
Merancang arsitektur tidak mungkin tidak
berarti merancang kota. Membangun arsitektur tidak mungkin tidak berarti
membangun kota. Tanpa kota, lebih-lebih di masa mendatang, arsitektur tidak
bisa mengada. Pada tahun 2007 dari seluruh penduduk dunia 50 % telah menghuni
kota. Hingga tahun 2050 penduduk dunia akan bertambah dengan 3 milyar jiwa.
Sebagian besarnya akan tinggal di kota-kota Asia dan Afrika. Inilah yang dimaksud
dengan Urbanisasi Gelombang ke-2, yang hanya terjadi dalam kurun waktu 80
tahun. Sedangkan Urbanisasi Gelombang ke-1 terjadi selama dua ratus tahun lebih
semenjak 1750, tetapi hanya menambah penduduk perkotaan sebanyak 400 juta jiwa
di Eropah dan Amerika, dengan eksploitasi sumber daya yang hampir tidak
mengenal batas melalui kolonialisasi. Dengan tambahan 3 milayr jiwa dalam 80
tahun, Urbanisasi Gelombang ke-2 juga harus menghadapi masalah kerusakan
lingkungan. Karena itu kota-kota memikul beban tanggung-jawab yang besar untuk
mengurangi ketergantungan pertumbuhan ekonomi pada pemakaian sumber daya, dan
mengurangi dampak lingkungannya. Pada saat ini diperkirakan terdapat 900 juta
orang di dunia tinggal di dalam hunian kumuh.[3] Enam ratus juta
darinya tinggal di kota-kota Asia.
Demikianlah dominannya kota sebagai tempat dan
wujud arsitektur, dan sebagai tujuan arsitektur mengabdi, sudah sekarang dan
lebih-lebih di masa mendatang. Membangun kota adalah kegiatan manusia yang
paling banyak menguras energi dan sumber daya alam, yang untuk masa depan
sangat menjadi masalah dan karena itu memerlukan inovasi yang banyak dan
menerobos sekali.
Kota, lebih daripada sekedar konteks untuk
perancangan arsitektur, adalah dasar eksistensial arsitektur. Arsitektur tidak
pernah milik pribadi semata-mata. Ia selalu milik bersama, setidaknya secara
visual, digunakan bersama-sama, setidaknya pada bagian luar dan/atau secara
simbolik.
Karena itu, mempererat kembali hubungan antara
arsitektur dan kota adalah strategi pertama untuk membuat arsitektur bermakna
bagi kemanusiaan. Kota berarti masyarakat, berarti kehidupan bersama, berarti
adanya konsensus-konsensus tertentu, berarti saling menghormati, saling
berbagi, saling memberi. Arsitektur harus selalu “memberi” kepada kota, kepada
masyarakat: memberi tampak-muka/facadenya, memberi
ruang, membentuk ruang bersama, dan seterusnya. Dulu sekali, Romo Brouwer
pernah mengecam para mahasiswa arsitektur UNPAR, yang menurut memiliki
pengetahuan budaya dan sosial yang minim sekali, mengingat bawa tugas dan
keputusan-keputusan yang mereka harus buat begitu penting untuk kemanusiaan.
Romo Mangunwijaya pernah kritik kelompok Arsitek Muda Indonesia karena begitu
saja mempraktikkan post-modernisme yang menurut beliau “kuno” dan tidak
mengakar pada masalah nyata Indonesia, pada bumi nusantara.
Menyatukan kembali arsitektur dan kota karena
itu berarti mengakarkan juga para arsitek pada masyarakatnya, pada kotanya. Dan
proses ini selayaknya selalu dimulai dari masa mahasiswa, dan tidak boleh
pernah terputus, apalagi tergantikan.
Dalam praktik, berarti arsitek harus melayani
semua segmen masyarakatnya yang beragam, dan kebutuhan-kebutuhan bersama
masyarakatnya yang kolektif, yaitu (sistem) prasarana dan saran khalayaknya.
Hanya sayangnya keadaan seringkali tidak mendukung. Misalnya ada bagian masyarakat
yang tidak mungkin mmbiayai arsitek secara langsung. Selain itu, sistem
produksi pengetahuan di kota-kota kita masih tersumbat dan lebih banyak
impornya.
Dinamika pengetahuan perkotaan di kota-kota
Indonesia menghadapi dua tantangan. Pertama seringkali tidak ada bahan, tidak
ada riset yang memadai. Kalaupun ada, seringkali tidak dinamis karena tidak
tampil ke wacana khalayak, antara lain karena kurangnya ruang khalayak untuk
membincangkan hal-hal demikian. Kedua—mungkin juga antara lain karena yang pertama
di atas—wacana perkotaan Indonesia sangat didominasi oleh realitas dan
imajinasi tentang Jakarta.
Partisipasi warga, termasuk arsitek dan para
sumber daya intelektual dan kreatif lainnya, dalam proses perkotaan, tidak akan
optimal tanpa produksi dan dinamisasi pengetahuan yang terus menerus. Dosen,
peneliti dan mahasiswa, dapat melakukan produksi dan dinamisasi pengetahuan
tentang masyarakat dan kotanya ini sambil belajar dan berpraktik.
Praktik bukanlah bagian terpisah dari proses
produksi pengetahuan. Melalui praktik, pengetahuan mengalami proses penubuhan, sehingga menjadi know-how, dan akan mendapatkan umpan-balik untuk saling
menyempurnakan.
Pada tingkat arsitektur, praktik sehari-hari
masyarakat kita bukan saja mengandung makna simbol-simbol yang abstrak, tetapi
juga kearifan teknis yang menyangkut bahan, iklim, dan kegunaan (dalam bahasa
Jawa menjadi “kagunan” yang bermakna kesenian juga[4]). Kita perlu meng-alih-bentukkan (transformasi)
kearifan ini ke masa kini, ke kota sekarang. Ilmu Fisika Bangunan menjadi
penting sekali, supaya kita tidak berspekulasi tentang nilai-nilai simbolik
dari pusaka budaya kita saja, tetapi juga “berhitung” tentang kegunaan nyatanya
untuk menghadapi tantangan memenuhi kebutuhan rakyat kita yang mayoritas secara
hemat bahan dan energi, serta tidak menimbulkan dampak lingkungan. (Karena
sesuatu hal, beberapa bulan belakangan ini saya sedikit tanya kiri-kanan tentang
nasib mata kuliah Fisika Bangunan di jurusan-jurusan arsitektur di
Indonesia. Ternyata, makin menghilang! Ini menyedihkan.)
Contoh arsitektur rumah Aceh:
§ Rumah Aceh mempunyai ujung atap monjol yang berlubang bukan hanya
di permukaan depannya (untuk ventilasi), tetapi juga di permukaan bawahnya,
supaya atap tidak terangkat lepas oleh angin yang kencang.
§ Orientasi atap tidak ada hubungan dengan agama tertentu, sebab
orang Aceh sudah membangun rumah sebelum agama (monotheisme) datang, melainkan
karena berorientasi pada angin.
§ Dinding (atas) rumah Aceh sangat pendek, sehingga semuanya
terlindung dari terpaan hujan dan panas langsung.
§ Atap rumah Aceh dapat dilepas hanya dengan memotong beberapa tali
pengikat, sehingga apabila terbakar dapat dilepas dengan cara demikian secara
cepat. Pohon-pohon pisang di halaman akan kemudian memadamkan api pada
atap yang dilepas-jatuhkan, karena banyak mengandung air.
§ Rumah Aceh dibangun dengan pohon yang ditanam 20an tahun
sebelumnya, bukan diambil dari hutan alam. Ketika menikah, pengantin lelaki
akan masuk ke dalam keluarga pengantin perempuan. Ayah dari pengantin perempuan
akan membangunkan rumah untuk anak perempuan dan suaminya, dengan kayu pohon
yang ditanam 20an tahun sebelumnya. Pengantin laki-laki wajib menanam pohon
yang kayunya akan digunakan untuk membangun ruma buat anak perempuannya yang
menikah 20an tahun kemudian.
§ (Tangga merupakan sesuatu yang sangat penting, yang harus menyatu
dengan satu rumah untuk satu keluarga, tidak boleh digunakan bersama keluarga
lain, meskipun, misalnya pada kasus rumah kopel. Ini mungkin asal usul kata
rumah-tangga).
Selain arsitektur tradisional tinggi, kita perlu
mempelajari juga arsitektur vernakular sebagaimana dipahami, dihidupi, dan
dipraktikkan sehari-hari oleh rakyat biasa.
Proses rasionalisasi dengan Fisika Bangunan
atasa dasar prinsip hemat bahan dan efektifitas kegunaan, sangat penting untuk
me-revitalisasi arsitektur rakyat, untuk dapat memenuhi kebutuhan mereka dan
masa depan, tanpa mengabaikan makna-makna simbolik yang masih terkandung atau
sedang berubah padanya. Kreativitas diperlukan pada kedua proses transformasi
kegunaan dan simbol-simbol sehingga kebutuhan rakyat kita akan keduanya
terpenuhi dengan memuaskan di dalam jaman yang berubah dan memiliki tantangan
kerusakan dan keterbatasan sumber daya alam ini.
Saya dengar wawancara di KBR 68H ada jurusan
Javanologi di Fakultas Sastra, UNS, tetangga Jurusan Arsitektur. Semoga
pengetahuan tentang arsitektur dan kota-kota Jawa, termasuk Solo dipelajari
juga di situ.
Melibatkan diri dalam proses
Sebelum berpikir tentang “bagaimana
mengikutsertakan masyarakat dalam proses meningkatkan kampung” sebaiknya para
mahasiswa dan arsitek berpikir dulu tentang bagaimana mengikutsertakan dirinya
dalam proses tersebut.
Hambatannya tidak kecil. Sebab pertama ada
hambatan sosial-ekonomi. Dan, karena proses pendidikan yang sudah dijalani,
mungkin ada keterasingan budaya, setidaknya menyangkut gaya-hidup, ialah
selapis kebudayaan yang melekat atau diidentifikasikan dengan gaya-konsumsi.
Pertama-tama arsitek atau calon arsitek harus
melengkapi dirinya dengan pengetahuan. Kedua mereka perlu membuka dirinya, mau
membanding-bandingkan apa yang telah dipelajarinya di ruang kelas dengan
kenyataan di masyarakat secara kritis dan berani (!).
Bagaimanapun saya kira perlu ada kesempatan
“pelatihan” melalui praktik nyata bekerja dengan, dan untuk masyarakat untuk
benar-benar bisa menghayati pelibatan diri ini.
Sedangkan melibatkan mayarakat sendiri ada
tekniknya tersendiri. Akan panjang cerita tentang ini. Tapi ringkasnya perlu
dasar penghayatan bahwa pengetahuan itu ada di setiap tubuh, bukan hanya di
universitas, di guru, profesor atau kaum “terpelajar” saja. Pengetahuan
itu selain dimiliki karena proses belajar formal, juga karena pengalaman hidup
sehari-hari dan diwarisi dari orang tua, nenek moyang, tetangga, dan lain-lain.
Proses menyertakan masyarakat juga bukan sekedar proses epistemologis untuk
mengumpulkan pengetahuan sebanyak mungkin, melainkan juga suatu proses
membangun kepemilikan, sehingga perubahan yang nanti terjadi akan terjadi
memang karena dikehendaki oleh yang berkepentingan. Keterampilan visualisasi
dua dan tiga dimensi arsitek dapat sangat membantu proses penyertaan masyarakat
dalam proses merencanakan dan merancang huniannya.
Selain menyertakan masyarakat dalam
meningkatkan kampungnya (atau permukimannya dalam bentuk-bentuk lain),
sebenarnya kaum terdidik/terpelajar perlu juga berperan mengajak masyarakat
membawakan suaranya kepada kota, kepada masyarakat seluas-luasnya, kepada
pemegang otoritas, ke ruang kalayak. Pada kerja demikian, arsitek perlu
berempati kepada amanat rakyat. Pada saat yang sama dia akan berjasa menyatukan
kembali kampung dan kota, membantu rekonstruksi hubungan antara kebudayaan dan
perhitungan-perhitungan serta negosiasi sosial modern, dan menyambungkan rakyat
dengan pemimpinnya.
Tahapan dan dimensi Partisipasi.
Saya menyederhanakan proses partisipasi ke
dalam tiga tahapan besar saja, untuk menekankan pentingnya kesertaan dalam
membuat keputusan:
§ Mobilisasi (terlibat melaksanakan keputusan yang telah dibuat
sebelumnya/oleh orang lain): ini sebenarnya bukan partisipasi sama sekali,
karena warga tidak terlibat dalam proses membuat keputusan; tetapi, oleh pihak
yang berkuasa ini sering disebut sebagai “partisipasi.”
§ Terlibat dalam proses memilih (tetapi tidak membuat) pilihan-pilihan
keputusan yang disiapkan orang lain sebelumnya: pilihan-pilihan telah
dibuatkan, warga hanya dimintai memilih salah satu dari pilihan; atau warga
hanya diminta masukan secara satu arah (semacam survei).
§ Merumuskan sendiri permasalahan dan pilihan-pilihan, dan
memutuskan sendiri, disertai kemungkinan melaksanakan sendiri keputusan yang
dibuat.
Semestinya tentu saja masyarakat terlibat
hingga ke tahap ke-tiga. Tahap pertama hanya akan menjadikan masyarakat sebagai
tenaga kerja—entah untuk kepentingan siapa, dan tujuan yang belum tentu sesuai
keinginan atau kebutuhan mereka—dan dapat menimbulkan rasa tidak-ikut-memiliki.
Peran serta yang sejati adalah yang turut menentukan keputusan yang diambil.
Arsitek perlu menyadari bahwa keputusan-keputusan tentang tempat tinggal, rumah
atau kampung, akan melibatkan banyak pertimbangan di luar bidang teknis
arsitektur. Selain itu, bila kita juga berpikir tentang pembangunan yang
efektif menjawab kebutuhan, maka kesertaan masyarakat dalam merumuskan masalah
(sebelum merumuskan pilihan-pilihan solusi) sendiri sudah sangat penting.
Rumusan permasalahn yang benar akan menuntun ke jawaban atau solusi yang
tepat-guna dan tepat-sasaran.
Dalam banyak praktik, keterlibatan masyarakat
diawali dengan suatu proses “pemetaan”, yang bukan saja berarti fisik
lingkungan, tetapi juga menyangkut aset sosial-ekonomi dan budaya, serta
hubungan-hubungan lainnya yang bisa saja unik untuk setiap tempat. Pemetaan
partisipatif adalah suatu istilah dan keterampilan tersendiri, dengan berbagai
bentuk kemungkinan. Peta Hijau (www.greenmap.org) adalah salah satu
cara.
Dalam keadaan pasca-bencana, kesertaan aktif
anggota-anggota masyarakat yang selamat lebih-lebih lagi diperlukan dan memang
seharusnya demikian, sebab selain itu hak mereka, hal tersebut akan lebih cepat
membantu mereka mengatasi rasa ketakberdayaan atau/dan kekagetan karena
tertimpa musibah.
Kesertaan masyarakat perlu memperhatikan beberapa dimensi:
§ Kedalaman:
– sedalam apa terlibat dalam
pembahasan substansi , dan
– sebanyak apa bekal
pengetahuan yang terlibat.
§ Keluasan:
– seberapa banyak anggota
masyarakat yang dapat serta, dibandingkan dengan jumlah keseluruhan masyarakat
– seberapa banyak dan merata
wilayah-wilayah yang terwakili.
§ Keragaman: seberapa banyak kelompok kepentingan yang terwakili
Contoh:
Di sebuah kota kecil di Sulawesi Tenggara,
saya pernah mengalamai bahwa ibu-ibu tidak pernah hadir ketika diundang ke
pertemuan partisipatif. Setelah diselitiki, sebabnya sederhana: ibu-ibu punya
waktu senggang hanya antara jam 1400 dan 1600, ialah ketika para suami tidur
siang.
Proses partisipasi tidak perlu dianggap
sebagai tugas/tanggung-jawab arsitek semata untuk memfasilitasinya. Ada banyak
orang dengan latar belakang ilmu lain dapat serta dan lebih relevan.
Arsitek Kampung
Alternatif lain, selain melibatkan arsitek
(lulusan perguruan tinggi, anggota IAI) langsung ke dalam peningatan
hunian/kampung masyarakat, adalah membentuk “arsitek” dari dalam komunitas
kampung, dengan cara memberikan kursus tiga bulan kepada warga kampung,
misalnya kepada tukang-tukang yang sudah punya pengalaman, tentang
prinsip-prinsip dan praktik-praktik dasar perancangan.
Hal ini mungkin lebih realistis untuk membantu
melayani puluhan juta rakyat kita yang memerlukan jasa perancangan bangunan dan
penataan kampung, tetapi tidak mampu membayar arsitek lulusan universitas (dan
anggota IAI). Perlu juga dipertimbangkan kenyataan bahwa selama ini sulit
sekali mengajak arsitek untuk lebih banyak (dan lama) melayani masyarakat
miskin perkotaan. Menurut hemat saya, selain karena imbalan jasa nya rendah
sekali, atau bahkan sukar diadakan, hal tersebut juga disebabkan oleh
pendidikan formal yang telah menghasilkan arsitek dengan pengetahuan dan
keterampilan teknis yang jauh melebihi apa yang sebenarnya diperlukan untuk
sekedar merancang rumah sederhana dan menata kampung. Adalah wajar bila arsitek
lulusan universitas mmpunyai cita-cita lebih tinggi yang memerlukan seluruh
keterampilan dan pengetahuannya, daripada sekedar merancang rumah sederhanda
dan menata kampung kota. Mereka tidak perlu dipaksa untuk mau mengabdikan
hidupnya pada penataan kampung dan rumah sederhana. Lebih realistis
memberi kursus tiga bulan kepada tukang kayu atau tukang batu yang sudah ada di
antara masyarakat untuk menjadi berwawasan “arsitektur”, dapat merancang rumah
sederhana dan menata kampungnya sendiri dan sekitarnya.
Tetapi, masyarakat perkampungan kota itu
mencapai mungkin hingga 70-80 % dari penduduk kota-kota kita. Ini jumlah yang
sangat menantang dan menggiurkan untuk menjadi ladang pengabdian maupun
pekerjaan profesional. Suatu sistem mungkin tetap perlu ditemukan untuk
memungkinkan mereka mendapatkan pelayanan arsitektural dari siapa saja, dari
“arsitek” yang berasal dari dalam kampung sendiri, maupun arsitek lulusan
universitas.
Semoga Saudara-saudara mahasiswa ketika lulus
nanti dapat memutuskan dengan bijak tentang kemana pengabdiannya mau diberikan.
Sekian. Terima kasih.
No comments:
Post a Comment