Friday, January 22, 2016

Permasalahan Arsitektur Perkotaan dan Pedesaan

Bersandar pada dua pertanyaan berikut:
1.     “Bagaimana menanggapi dan merespon budaya lokal dalam meningkatkan kualitas sebuah kampung?” dan
2.     “Bagaimana mengikutsertakan masyarakat (sekitar) untuk meningkatkan kampung mereka?”
Jawaban untuk pertanyaan pertama ada pada anggapan yang melatar-belakangi pertanyaan kedua: Proses melibatkan masyarakat itu sendiri adalah cara terbaik dalam mempelajari (kembali) budaya lokal, memenuhi kebutuhannya, mengalih-bentukkannya (transformasi) ke keadaan kiwari (kontemporer), dan meningkatkan kualitas kampung masyarakat kita.
Proses modernisasi yang tiba-tiba (“tiba-tiba modern”) dan dari-atas telah menyebabkan semacam gangguan pada aliran kebudayaan setempat. Hal ini misalnya sangat jelas dalam pendidikan arsitektur sendiri, yang sangat “modern” dan menerjemahkan pengetahuan dari budaya lain ke dalam keadaan setempat secara terbata-bata. Proses itu masih berlangsung. Lihatlah buku-buku yang kita baca. Lihatlah buku-buku yang dianjurkan untuk dibaca pada tiap-tiap mata-kuliah di sembarang Jurusan Arsitektur.
Tetapi gejala ini bukanlah khas negeri kita. Tidak-simetri dalam proses produksi dan konsumsi ilmu pengetahuan adalah hal yang umum terjadi, sama seperti hal-hal lainnya, karena tergantung pada faktor-faktor kekuasaan yang tidak simeteris. Selain itu, hal itu tidak sepenuhnya “salah keadaan atau orang lain” atau tidak dapat diubah sama sekali. Sehubungan dengan keadaan Indonesia, kesalahan antara lain terletak pada diri kita sendiri, bangsa Indonesia, yang kurang banyak menulis atau merekam pengetahuannya dalam bentuk-bentuk lain yang dapat disebarkan dengan cara mudah. Namun, harus pula kita akui dengan senang hati dan bangga, bahwa belakangan ini makin banya buku (pengetahuan!) yang diproduksi oleh bangsa Indonesia sendiri. Dulu kita hanya mengenal bukunya Mangunwijaya (Wastuwidya dan Fisika Bangunan).
Tetapi masih banyak pengetahuan tersimpan di dalam kehidupan sehari-hari rakyat kita.
Pengetahuan ini makin penting sekarang, karena seringkali juga mengandung solusi-solusi realistis untuk transisi menuju kehidupan yang lestari.
Kendala kita terletak pada jumlah keberagaman kita sendiri. Kita harus rela menyediakan waktu, dana,  sumber daya manusia, dan dedikasi untuk belajar ulang tentang diri kita sendiri, sebelum dibatasi (didefinisikan) oleh siapa-siapa pun tanpa berdasarkan pengetahuan yang luas. Pengetahuan tentang diri kita lebih penting daripada definisi tentang diri kita. Sebab, eksistensi keberagaman Indonesia mendahului definisi tentang Indonesia.
Pengetahuan tentang tiap-tiap budaya rakyat kita harusnya juga dipahami bukan secara statis dan teoritis, tetapi selalu dalam pergaulan satu sama lain, dari waktu ke waktu, dan karena itu juga selalu berubah dinamis memasuki masa kini dan masa depan dalam praktik sehari-hari.



Manfaatnya jelas: memperkokoh persatuan yang sejati, memahami kebutuhan rakyat yang sesungguhnya, memberikan solusi-solusi atas kebutuhan dan masalah rakyat dengan cara-cara yang sesuai keadaan dan kemampuan setempat, sehingga dapat lestari pemakaian dan pemeliharaannya, karena melibatkan mereka, karena membangkitkan rasa memiliki.  Tetapi mempelajari (dan menghayati!) keadaan dan kebudayaan setempat pertama-tama penting untuk membongkar perangkap dari apa yang telah dipelajari sebelumnya, yang seringkali telah mengandung template yang membatasi kreativitas dan tidak tepat-guna.
Untuk membangun pengetahuan keberagaman masyarkat dan mempraktikkannya tentu diperlukan strategi pada berbagai tingkatan. Saya hanya akan bicara pada dua tingkat yang mungkin paling relevan untuk diskusi kita ini: pada tingkat praktik berarsitektur dan berkota.
Pada dasarnya kita perlu berubah, berangkat dari menyadari kekurangan pada pendidikan yang telah kita alami, hingga mengubah cara-cara kita berpraktik membangun dan mendiami arsitektur serta kota.
Strategi
Merancang arsitektur tidak mungkin tidak berarti merancang kota. Membangun arsitektur tidak mungkin tidak berarti membangun kota. Tanpa kota, lebih-lebih di masa mendatang, arsitektur tidak bisa mengada. Pada tahun 2007 dari seluruh penduduk dunia 50 % telah menghuni kota. Hingga tahun 2050 penduduk dunia akan bertambah dengan 3 milyar jiwa. Sebagian besarnya akan tinggal di kota-kota Asia dan Afrika. Inilah yang dimaksud dengan Urbanisasi Gelombang ke-2, yang hanya terjadi dalam kurun waktu 80 tahun. Sedangkan Urbanisasi Gelombang ke-1 terjadi selama dua ratus tahun lebih semenjak 1750, tetapi hanya menambah penduduk perkotaan sebanyak 400 juta jiwa di Eropah dan Amerika, dengan eksploitasi sumber daya yang hampir tidak mengenal batas melalui kolonialisasi. Dengan tambahan 3 milayr jiwa dalam 80 tahun, Urbanisasi Gelombang ke-2 juga harus menghadapi masalah kerusakan lingkungan. Karena itu kota-kota memikul beban tanggung-jawab yang besar untuk mengurangi ketergantungan pertumbuhan ekonomi pada pemakaian sumber daya, dan mengurangi dampak lingkungannya. Pada saat ini diperkirakan terdapat 900 juta orang di dunia tinggal di dalam hunian kumuh.[3] Enam ratus juta darinya tinggal di kota-kota Asia.
Demikianlah dominannya kota sebagai tempat dan wujud arsitektur, dan sebagai tujuan arsitektur mengabdi, sudah sekarang dan lebih-lebih di masa mendatang. Membangun kota adalah kegiatan manusia yang paling banyak menguras energi dan sumber daya alam, yang untuk masa depan sangat menjadi masalah dan karena itu memerlukan inovasi yang banyak dan menerobos sekali.
Kota, lebih daripada sekedar konteks untuk perancangan arsitektur, adalah dasar eksistensial arsitektur. Arsitektur tidak pernah milik pribadi semata-mata. Ia selalu milik bersama, setidaknya secara visual, digunakan bersama-sama, setidaknya pada bagian luar dan/atau secara simbolik.



Karena itu, mempererat kembali hubungan antara arsitektur dan kota adalah strategi pertama untuk membuat arsitektur bermakna bagi kemanusiaan. Kota berarti masyarakat, berarti kehidupan bersama, berarti adanya konsensus-konsensus tertentu, berarti saling menghormati, saling berbagi, saling memberi. Arsitektur harus selalu “memberi” kepada kota, kepada masyarakat: memberi tampak-muka/facadenya, memberi ruang, membentuk ruang bersama, dan seterusnya. Dulu sekali, Romo Brouwer pernah mengecam para mahasiswa arsitektur UNPAR, yang menurut memiliki pengetahuan budaya dan sosial yang minim sekali, mengingat bawa tugas dan keputusan-keputusan yang mereka harus buat begitu penting untuk kemanusiaan. Romo Mangunwijaya pernah kritik kelompok Arsitek Muda Indonesia karena begitu saja mempraktikkan post-modernisme yang menurut beliau “kuno” dan tidak mengakar pada masalah nyata Indonesia, pada bumi nusantara.
Menyatukan kembali arsitektur dan kota karena itu berarti mengakarkan juga para arsitek pada masyarakatnya, pada kotanya. Dan proses ini selayaknya selalu dimulai dari masa mahasiswa, dan tidak boleh pernah terputus, apalagi tergantikan.
Dalam praktik, berarti arsitek harus melayani semua segmen masyarakatnya yang beragam, dan kebutuhan-kebutuhan bersama masyarakatnya yang kolektif, yaitu (sistem) prasarana dan saran khalayaknya. Hanya sayangnya keadaan seringkali tidak mendukung. Misalnya ada bagian masyarakat yang tidak mungkin mmbiayai arsitek secara langsung. Selain itu, sistem produksi pengetahuan di kota-kota kita masih tersumbat dan lebih banyak impornya.
Dinamika pengetahuan perkotaan di kota-kota Indonesia menghadapi dua tantangan. Pertama seringkali tidak ada bahan, tidak ada riset yang memadai. Kalaupun ada, seringkali tidak dinamis karena tidak tampil ke wacana khalayak, antara lain karena kurangnya ruang khalayak untuk membincangkan hal-hal demikian. Kedua—mungkin juga antara lain karena yang pertama di atas—wacana perkotaan Indonesia sangat didominasi oleh realitas dan imajinasi tentang Jakarta.
Partisipasi warga, termasuk arsitek dan para sumber daya intelektual dan kreatif lainnya, dalam proses perkotaan, tidak akan optimal tanpa produksi dan dinamisasi pengetahuan yang terus menerus. Dosen, peneliti dan mahasiswa, dapat melakukan produksi dan dinamisasi pengetahuan tentang masyarakat dan kotanya ini sambil belajar dan berpraktik.
Praktik bukanlah bagian terpisah dari proses produksi pengetahuan. Melalui praktik, pengetahuan mengalami proses penubuhan, sehingga menjadi know-how, dan akan mendapatkan umpan-balik untuk saling menyempurnakan.
Pada tingkat arsitektur, praktik sehari-hari masyarakat kita bukan saja mengandung makna simbol-simbol yang abstrak, tetapi juga kearifan teknis yang menyangkut bahan, iklim, dan kegunaan (dalam bahasa Jawa menjadi “kagunan” yang bermakna kesenian juga[4]). Kita perlu meng-alih-bentukkan (transformasi) kearifan ini ke masa kini, ke kota sekarang. Ilmu Fisika Bangunan menjadi penting sekali, supaya kita tidak berspekulasi tentang nilai-nilai simbolik dari pusaka budaya kita saja, tetapi juga “berhitung” tentang kegunaan nyatanya untuk menghadapi tantangan memenuhi kebutuhan rakyat kita yang mayoritas secara hemat bahan dan energi, serta tidak menimbulkan dampak lingkungan. (Karena sesuatu hal, beberapa bulan belakangan ini saya sedikit tanya kiri-kanan tentang nasib mata kuliah Fisika Bangunan di jurusan-jurusan arsitektur  di Indonesia. Ternyata, makin menghilang! Ini menyedihkan.)



Contoh arsitektur rumah Aceh:
§  Rumah Aceh mempunyai ujung atap monjol yang berlubang bukan hanya di permukaan depannya (untuk ventilasi), tetapi juga di permukaan bawahnya, supaya atap tidak terangkat lepas oleh angin yang kencang.
§  Orientasi atap tidak ada hubungan dengan agama tertentu, sebab orang Aceh sudah membangun rumah sebelum agama (monotheisme) datang, melainkan karena berorientasi pada angin.
§  Dinding (atas) rumah Aceh sangat pendek, sehingga semuanya terlindung dari terpaan hujan dan panas langsung.
§  Atap rumah Aceh dapat dilepas hanya dengan memotong beberapa tali pengikat, sehingga apabila terbakar dapat dilepas dengan cara demikian secara cepat. Pohon-pohon pisang  di halaman akan kemudian memadamkan api pada atap yang dilepas-jatuhkan, karena banyak mengandung air.
§  Rumah Aceh dibangun dengan pohon yang ditanam 20an tahun sebelumnya, bukan diambil dari hutan alam. Ketika menikah, pengantin lelaki akan masuk ke dalam keluarga pengantin perempuan. Ayah dari pengantin perempuan akan membangunkan rumah untuk anak perempuan dan suaminya, dengan kayu pohon yang ditanam 20an tahun sebelumnya. Pengantin laki-laki wajib menanam pohon yang kayunya akan digunakan untuk membangun ruma buat anak perempuannya yang menikah 20an tahun kemudian.
§  (Tangga merupakan sesuatu yang sangat penting, yang harus menyatu dengan satu rumah untuk satu keluarga, tidak boleh digunakan bersama keluarga lain, meskipun, misalnya pada kasus rumah kopel. Ini mungkin asal usul kata rumah-tangga).
Selain arsitektur tradisional tinggi, kita perlu mempelajari juga arsitektur vernakular sebagaimana dipahami, dihidupi, dan dipraktikkan sehari-hari oleh rakyat biasa.
Proses rasionalisasi dengan Fisika Bangunan atasa dasar prinsip hemat bahan dan efektifitas kegunaan, sangat penting untuk me-revitalisasi arsitektur rakyat, untuk dapat memenuhi kebutuhan mereka dan masa depan, tanpa mengabaikan makna-makna simbolik yang masih terkandung atau sedang berubah padanya. Kreativitas diperlukan pada kedua proses transformasi kegunaan dan simbol-simbol sehingga kebutuhan rakyat kita akan keduanya terpenuhi dengan memuaskan di dalam jaman yang berubah dan memiliki tantangan kerusakan dan keterbatasan sumber daya alam ini.
Saya dengar wawancara di KBR 68H ada jurusan Javanologi di Fakultas Sastra, UNS, tetangga Jurusan Arsitektur. Semoga pengetahuan tentang arsitektur dan kota-kota Jawa, termasuk Solo dipelajari juga di situ.
Melibatkan diri dalam proses
Sebelum berpikir tentang “bagaimana mengikutsertakan masyarakat dalam proses meningkatkan kampung” sebaiknya para mahasiswa dan arsitek berpikir dulu tentang bagaimana mengikutsertakan dirinya dalam proses tersebut.
Hambatannya tidak kecil. Sebab pertama ada hambatan sosial-ekonomi. Dan, karena proses pendidikan yang sudah dijalani, mungkin ada keterasingan budaya, setidaknya menyangkut gaya-hidup, ialah selapis kebudayaan yang melekat atau diidentifikasikan dengan gaya-konsumsi.
Pertama-tama arsitek atau calon arsitek harus melengkapi dirinya dengan pengetahuan. Kedua mereka perlu membuka dirinya, mau membanding-bandingkan apa yang telah dipelajarinya di ruang kelas dengan kenyataan di masyarakat secara kritis dan berani (!).
Bagaimanapun saya kira perlu ada kesempatan “pelatihan” melalui praktik nyata bekerja dengan, dan untuk masyarakat untuk benar-benar bisa menghayati pelibatan diri ini.
Sedangkan melibatkan mayarakat sendiri ada tekniknya tersendiri. Akan panjang cerita tentang ini. Tapi ringkasnya perlu dasar penghayatan bahwa pengetahuan itu ada di setiap tubuh, bukan hanya di universitas, di guru, profesor atau kaum “terpelajar” saja.  Pengetahuan itu selain dimiliki karena proses belajar formal, juga karena pengalaman hidup sehari-hari dan diwarisi dari orang tua, nenek moyang, tetangga, dan lain-lain. Proses menyertakan masyarakat juga bukan sekedar proses epistemologis untuk mengumpulkan pengetahuan sebanyak mungkin, melainkan juga suatu proses membangun kepemilikan, sehingga perubahan yang nanti terjadi akan terjadi memang karena dikehendaki oleh yang berkepentingan. Keterampilan visualisasi dua dan tiga dimensi arsitek dapat sangat membantu proses penyertaan masyarakat dalam proses merencanakan dan merancang huniannya.
Selain menyertakan masyarakat dalam meningkatkan kampungnya (atau permukimannya dalam bentuk-bentuk lain), sebenarnya kaum terdidik/terpelajar perlu juga berperan mengajak masyarakat membawakan suaranya kepada kota, kepada masyarakat seluas-luasnya, kepada pemegang otoritas, ke ruang kalayak. Pada kerja demikian, arsitek perlu berempati kepada amanat rakyat. Pada saat yang sama dia akan berjasa menyatukan kembali kampung dan kota, membantu rekonstruksi hubungan antara kebudayaan dan perhitungan-perhitungan serta negosiasi sosial modern, dan menyambungkan rakyat dengan pemimpinnya.
Tahapan dan dimensi Partisipasi.
Sherry Arnstein membagi tahapan partisipasi ke dalam 8 tahapaan/anak tangga.[5]
Saya menyederhanakan proses partisipasi ke dalam tiga tahapan besar saja, untuk menekankan pentingnya kesertaan dalam membuat keputusan:
§  Mobilisasi (terlibat melaksanakan keputusan yang telah dibuat sebelumnya/oleh orang lain): ini sebenarnya bukan partisipasi sama sekali, karena warga tidak terlibat dalam proses membuat keputusan; tetapi, oleh pihak yang berkuasa ini sering disebut sebagai “partisipasi.”
§  Terlibat dalam proses memilih (tetapi tidak membuat) pilihan-pilihan keputusan yang disiapkan orang lain sebelumnya: pilihan-pilihan telah dibuatkan, warga hanya dimintai memilih salah satu dari pilihan; atau warga hanya diminta masukan secara satu arah (semacam survei).
§  Merumuskan sendiri  permasalahan dan pilihan-pilihan, dan memutuskan sendiri, disertai kemungkinan melaksanakan sendiri keputusan yang dibuat.



Semestinya tentu saja masyarakat terlibat hingga ke tahap ke-tiga. Tahap pertama hanya akan menjadikan masyarakat sebagai tenaga kerja—entah untuk kepentingan siapa, dan tujuan yang belum tentu sesuai keinginan atau kebutuhan mereka—dan dapat menimbulkan rasa tidak-ikut-memiliki. Peran serta yang sejati adalah yang turut menentukan keputusan yang diambil. Arsitek perlu menyadari bahwa keputusan-keputusan tentang tempat tinggal, rumah atau kampung, akan melibatkan banyak pertimbangan di luar bidang teknis arsitektur. Selain itu, bila kita juga berpikir tentang pembangunan yang efektif menjawab kebutuhan, maka kesertaan masyarakat dalam merumuskan masalah (sebelum merumuskan pilihan-pilihan solusi) sendiri sudah sangat penting. Rumusan permasalahn yang benar akan menuntun ke jawaban atau solusi yang tepat-guna dan tepat-sasaran.
Dalam banyak praktik, keterlibatan masyarakat diawali dengan suatu proses “pemetaan”, yang bukan saja berarti fisik lingkungan, tetapi juga menyangkut aset sosial-ekonomi dan budaya, serta hubungan-hubungan lainnya yang bisa saja unik untuk setiap tempat. Pemetaan partisipatif adalah suatu istilah dan keterampilan tersendiri, dengan berbagai bentuk kemungkinan. Peta Hijau (www.greenmap.org) adalah salah satu cara.
Dalam keadaan pasca-bencana, kesertaan aktif anggota-anggota masyarakat yang selamat lebih-lebih lagi diperlukan dan memang seharusnya demikian, sebab selain itu hak mereka, hal tersebut akan lebih cepat membantu mereka mengatasi rasa ketakberdayaan atau/dan kekagetan karena tertimpa musibah.
Kesertaan masyarakat perlu memperhatikan beberapa dimensi:
§  Kedalaman:
–       sedalam apa terlibat dalam pembahasan substansi , dan
–       sebanyak apa bekal pengetahuan yang terlibat.
§  Keluasan:
–       seberapa banyak anggota masyarakat yang dapat serta, dibandingkan dengan jumlah keseluruhan masyarakat
–       seberapa banyak dan merata wilayah-wilayah yang terwakili.
§  Keragaman: seberapa banyak kelompok kepentingan yang terwakili
Contoh:
Di sebuah kota kecil di Sulawesi Tenggara, saya pernah mengalamai bahwa ibu-ibu tidak pernah hadir ketika diundang ke pertemuan partisipatif. Setelah diselitiki, sebabnya sederhana: ibu-ibu punya waktu senggang hanya antara jam 1400 dan 1600, ialah ketika para suami tidur siang.
Proses partisipasi tidak perlu dianggap sebagai tugas/tanggung-jawab arsitek semata untuk memfasilitasinya. Ada banyak orang dengan latar belakang ilmu lain dapat serta dan lebih relevan.



Arsitek Kampung
Alternatif lain, selain melibatkan arsitek (lulusan perguruan tinggi, anggota IAI) langsung ke dalam peningatan hunian/kampung masyarakat, adalah membentuk “arsitek” dari dalam komunitas kampung, dengan cara memberikan kursus tiga bulan kepada warga kampung, misalnya kepada tukang-tukang yang sudah punya pengalaman, tentang prinsip-prinsip dan praktik-praktik dasar perancangan.
Hal ini mungkin lebih realistis untuk membantu melayani puluhan juta rakyat kita yang memerlukan jasa perancangan bangunan dan penataan kampung, tetapi tidak mampu membayar arsitek lulusan universitas (dan anggota IAI). Perlu juga dipertimbangkan kenyataan bahwa selama ini sulit sekali mengajak arsitek untuk lebih banyak (dan lama)  melayani masyarakat miskin perkotaan. Menurut hemat saya, selain karena imbalan jasa nya rendah sekali, atau bahkan sukar diadakan, hal tersebut juga disebabkan oleh pendidikan formal yang telah menghasilkan arsitek dengan pengetahuan dan keterampilan teknis yang jauh melebihi apa yang sebenarnya diperlukan untuk sekedar merancang rumah sederhana dan menata kampung. Adalah wajar bila arsitek lulusan universitas mmpunyai cita-cita lebih tinggi yang memerlukan seluruh keterampilan dan pengetahuannya, daripada sekedar merancang rumah sederhanda dan menata kampung kota. Mereka tidak perlu dipaksa untuk mau mengabdikan hidupnya pada penataan kampung dan rumah sederhana.  Lebih realistis memberi kursus tiga bulan kepada tukang kayu atau tukang batu yang sudah ada di antara masyarakat untuk menjadi berwawasan “arsitektur”, dapat merancang rumah sederhana dan menata kampungnya sendiri dan sekitarnya.
Tetapi, masyarakat perkampungan kota itu mencapai mungkin hingga 70-80 % dari penduduk kota-kota kita. Ini jumlah yang sangat menantang dan menggiurkan untuk menjadi ladang pengabdian maupun pekerjaan profesional. Suatu sistem mungkin tetap perlu ditemukan untuk memungkinkan mereka mendapatkan pelayanan arsitektural dari siapa saja, dari “arsitek” yang berasal dari dalam kampung sendiri, maupun arsitek lulusan universitas.
Semoga Saudara-saudara mahasiswa ketika lulus nanti dapat memutuskan dengan bijak tentang kemana pengabdiannya mau diberikan.
Sekian. Terima kasih.